Kamis, 13 Oktober 2011

KECERDASAN SPRITUAL

Beberapa orang mahasiswa memasuki ruang ibadah. Ada seorang yang langsung bersikap khidmat. Selama setengah jam menantikan dimulainya ibadah, ia duduk dengan teduh. Ia tidak menoleh ke kiri dan kanan. Pikirannya tidak teralih kesana sini. Ia berkonsentrasi. Ia berkomtemplasi. Ketika teman-temannya berbisik-bisik, ia tidak menghiraukannya. Pikirannya bagaikan hanyut dalam ketermenungan. Orang ini bisa bersaat teduh. Ia mempunyai kehalusan perasaan religius.

Sebenarnya kata 'religius' kurang tepat untuk menggambarkan perasaan itu, sebab perasaan itu belum tentu berhubungan dengan religi atau agama. Istilah yang lebih tepat adalah 'spiritual'.

Ketajaman spiritual tidak identik dengan kesalehan. Orang yang saleh menjalankan ajaran agama dengan sungguh dan taat. Padahal orang dengan ketajaman spiritual belum tentu seperti itu. Ia tidak lebih suci dari teman-temannya. Hidupnya biasa-biasa saja. Namun, perasaannya lebih halus terhadap hal-hal rohani. Di kamarnya ia bisa duduk khusyuk seorang diri selama satu jam menyimak sebuah syair rohani. Ia suka berdiam diri dan termenung tentang misteri Yang Ilahi.

Ketajaman spiritual juga tidak identik dengan beriman atau tawakal (berserah atau mempercayakan diri secara penuh) kepada Tuhan. Orang yang tajam spiritual bisa mudah bimbang atau gelisah. Ia belum tentu tabah. Ia belum tentu kuat iman.

Ketajaman spiritual pun bukan fanatisme agama. Orang yang tajam spiritual bukanlah orang yang 'hyper-religius' yang menjalankan keberagamaannya secara berlebihan, fanatik atau ekstrim. Salahudin Wahid, Ketua Nahdatul Ulama, dalam artikel "Memadukan Ibadah Ritual dengan Ibadah Sosial" menulis, "Orang yang cerdas spiritual bisa saja bukan orang yang beragama. Dan orang beragama tidak selalu mempunyai kecerdasan spiritual. Orang yang fanatik pada agama/mazhabnya lalu membabi buta menyerang agama/mazhab lain adalah orang yang tidak punya kecerdasan spiritual. Orang yang membunuh ratusan orang tidak bersalah dengan dalih membela agama, dia pasti bukan orang yang cerdas spiritual."

Ketajaman spiritual pun bukan monopoli rohaniwan. Seorang montir mobil atau tukang listrik yang tidak tahu apa-apa tentang teologi, bisa saja mempunyai ketajaman spiritual yang lebih tinggi daropada seorang rohaniwan atau dosen teologi.

Orang yang tajam spiritual adalah orang yang mempunyai bakat cita rasa rohani. Riak getaran hatinya peka terhadap hal-hal yang rohani. Ia mudah tergetar oleh misteri kehadiran Yang Ilahi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika melihat sekuntum, ia terpaku dengan rasa kagum dan berpikir: O, begitu halusnya tangan Tuhan. Ketika langit senja berwarna lembayung, ia terpesona memandangi lapisan awan merah jingga dan berpikir: Bukan main bagus nya keagungan Tuhan. Cita rasa yang membakat dalam dirinya membuat ia mampu melihat apa yang tidak kelihatan dibalik sekuntum bunga atau iringan awan tadi. Cita rasa spiritualnya membuat dia ingin memasuki dunia misteri rohani dibalik dunia nyata ragawi. Karena itu, dia banyak bertanya. Lalu ia sendiri yang menjawab. Dengan begitu ia tenggelam dalam refleksi. Ia berimajinasi. Ia berkontemplasi.

Dalam ketrmenungannya itu kadang-kadang ia merasa begitu akrab dengan Yang Ilahi. Ia menghayati pemazmur yang mengaku: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm. 23:1), lalu ia merasa bagaikan seekor anak domba kecil yang dipangku, dipeluk dan dielus-elus dengan penuh kesayangan oleh Sang Gembala. Namun, di pihak lain, kadang-kadang ia merasa gentar kepada Tuhan. Ia merasa bagaikan Musa yang “menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah” (Kel. 3:6-b).

Ketajaman atau kehalusan spiritual adalah getaran hati yang membuat kita merasa akrab namun serentak juga merasa gentar kepada Tuhan. Tuhan terasa dekat namun serentak jauh. Tuhan adalah ‘immanen’ (= yang tinggal dan menetap) dengan kita, namun serentak Tuhan adalah ‘transenden’ (= yang berada di seberang batas). Tuhan dirasa sebagai suatu ‘mysterium tremendum’ (= misteri yang menggentarkan atau menakutkan), namun serentak sebagai ‘mysterium fascinosum’ (misteri yang menggemparkan atau menarik).
Ketajaman spiritual adalah kehalusan indra terhadap misteri kedekatan dan kejauhan atau ke-sini-an dan ke-sana-an Tuhan. Harper’s Encyclopedia of Religious Education merumuskannya sebagai “sense of relatedness to that which is beyond the self yet approachable.”

Ketajaman spiritual adalah kehalusan yang bisa merasakan getaran kehadiran Yang Ilahi di tengah kelopak-kelopakharum bunga melati, di dalam semburan lava letusan gunung berapi, di balik keriput senyum eyang putrid, di pinggir kat-kata puisi, diantara bunyi kicauan burung ,merpati, di bawah kegelapan kubur orang mati, dan di atas ketinggian langit yang paling tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar